Sudah pukul berapa aku masih mendengarkan lagu yang menyayat hati?
Harusnya aku sudah memejamkan mataku dan beristirahat untuk kerja esok hari.
Teringat tahun lalu saat aku melepaskan orang yang aku tangisi, pernah aku cintai. Rasa itu amat menyakitkan bila diingat. Berjua pun belum pernah tapi sudah sebegitunya menyayangi, hingga harus dilepas juga.
Perasaan bersalah terhadap hati sendiri tak kunjung terhenti, aku merasa diri ini tak pantas memiliki tambatan hati dan bahagia, tak pantas diperjuangkan sebegitu seriusnya. Hingga berkali-kali tersakiti dan dikhianati. Namun selang beberapa detik, aku faham bahwa semua anggapanku salah.
Aku tak pernah berdoa pada Tuhan untuk segera ditemukan sosok yang mampu menggantikan posisinya, aku hanya berdoa segeralah Tuhan sembuhkan lukaku kala itu.
Namun caraNya memang tak bisa ku baca, dengan salah satu hambaNya dibantu aku menyembuhkan lukaku. Payahnya memang aku tak sulit merasa jatuh cinta, dan tak dipungkiri aku juga ternyata tak sulit patah hati. Ironis.
Kali ini aku tak mengerti harus merasa bahagia atau sedih, dan mungkin memang harus diantaranya.
Aku kembali lagi takut kehilangan sesosok pria, yang mampu menemaniku menyembukan lukaku kemarin. Aku tak ingin kehilangan lagi untuk sekian kalinya. Sumpah.. aku tak ingin. Aku tak ingin merasakan sakit yang berulang. Aku hanya ingin memilikinya, tapi ia tak bisa. Saling memiliki adalah salah satu kesalahan baginya. Ia tak mau dipenjarakan oleh kalimat itu.
Ketika ia memberikan seluruh hatinya, jujur saja aku luluh. Tapi bagaimana dengan ia yang sekaligus menolak untuk saling memiliki.
Aku tau maksud Tuhan adalah yang terbaik. Tapi .. aku seperti lagi-lagi diingatkan bahwa, aku harus selalu bersiap sedia soal kehilangan dan patah hati. Tapi kali ini aku disuruh tidak gegabah dalam mencintai. Tapi kenapa rasanya perih juga??? Seperti aku merasakan manis yang salah waktu dan bukan milikku. Seperti aku berdiri dibawah pohon, berharap buah yang matang itu segera jatuh padaku entah kapan.
Tak ada yang tau aku tlah mati disorot panasnya terik matahari, aku tlah tak berdaya disiram derasnya air hujan. Tapi tetap dengan bayanganku, manis itu sudah terasa meski hanya sampai ujung lidah.
Aku tak tau harus bagaimana, sesabar apalagi aku harus terima.
Komentar
Posting Komentar